Pelajaran Berharga Dari Cina

Beberapa pekan lalu, tepatnya 14-17 Mei 2017. China sukses menjadi inisiator One Belt One Silk (OBOR), Satu Sabuk, Satu Jalan. Yaitu, sebuah inisiasi untuk memodernkan kembali jalur sutra perdagangan Cina ke Eropa Tengah yang sudah ada sejak sebelum masehi silam. Acara akbar itu bertajuk Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Belt and Road Forum for International Cooperation, di Beijing Tiongkok. Dalam forum yang berlangsung beberapa pekan lalu itu, China berhasil menghadirkan 65 negara, termasuk pimpinan PBB, International Monetary of Fund (IMF), dan World Bank.
1..
Mengutip The Economist, jika mega proyek itu dijalankan, maka 16 persen perekonomian global ada di dalam jalur sutra itu. Atau dengan kata lain seperlima perdagangan global (global trade) berputar dalam ruang sutra baru. Karena jalur sutra itu ada dibawah kendali China, sebagai inisiator, maka otomatis perekonomian global akan mudah untuk dikendalikan olehnya. Bila melihat peta Silk Road, ada dua jalur utama, yaitu Silk Road Economic Belt dan Maritime Silk Road Initiative. Pada ini, Indonesia ‘akan’ dilalui jalur Maritime Silk road Initiative. Sementara jalur sutra darat, akan dibangun rel kereta api, yang harapannya mampu memangkas biaya logistik pengiriman komoditas ke Eropa menjadi 18 hari. Maka tak heran juga bila China melakukan ekspansi investasi besar-besaran. Bahkan beberapa negara mendapat investasi sangat besar. lihat grafik dibawah. Pakistan menjadi negara dengan investasi terbesar, yaitu $54B.
2..
Kini, sebagai negara yang amat optimis. Di bawah pimpinan Xi Jinping, China merangsek cepat, menjadi pemain utama dunia saat ini. Bukti sederhananya, beberapa saat lalu, saat China melakukan devaluasi Yuan, mayoritas negara memprotesnya. Mereka beranggapan, kebijakan
devaluasi Yuan adalah keculasan, karena berimbas pada ekspor negara lain. Bukti lain, saat growth ekonomi China melemah di tahun 2015, negara lain tikut erdampak imbasnya, termasuk Indonesia. Evidensi itu menunjukkan bargaining China terhadap dunia kian kuat. Padahal, kalau melihat sepak terjang perekonomian China. Mereka pernah menjadi negara yang amat timpang. Jurang disparitas tumbuh subur. Pada 2006, ketimpangan China masih cukup tinggi (48,7). Namun di tahun 2016, turun sebesar 1,2. Lain pendulum, GDP China juga pernah mengalami fluktuasi. Tapi kini, dengan growth 6,5 persen, China mampu tumbuh stabil dan aman.
3..
Melihat kondisi ekonomi China yang menunjukkan gelagat positif. Harusnya Indonesia kian terlecut untuk bangun dan mengejar ketertinggalan. Dulu, China adalah negara penyedia tenaga kerja murah (low price of labour) dengan produktivitas tinggi. Tak heran ketika itu banyak negara maju datang ke China untuk menanamkan investasi langsung (foreign Direct Investment). Maklmum saja, negara maju itu termanjakan oleh tenaga kerja murah namun produktif.
Walaupun begitu, China justru mengambil untung dari perusahaan asing tersebut. Pelbagai produk asing yang di produksi di China, menjadi ladang belajar ribuan tenaga kerja. Hasilnya kini bisa dilihat, mayoritas produk China membanjiri pasar internasional. Adalah sebuah cerita paradoksal dari sebelumnya. Perusahaan multinasional yang dulu giat berinvestasi ke China, semakin tergerus, akibat kalah saing; baik harga dan kualitasnya.
Sampai titik ini, harusnya Indonesia banyak belajar dari negeri panda itu. Ketersediaan tenaga kerja Indonesia cukup melimpah. Data terbaru menunjukkan angkat TPT Indonesia seebsar 5,33 persen (BPS, 2017). Maknanya, dari 100 orang angkatan kerja, terdapat 5-6 orang yang menganggur. Demikian,patut menjadi alternatif, bukan musibah.
Demi merubahnya menjadi alternatif, perlu ada beberapa prioritas kebijakan yang harus disegerakan. Pertama, perbaikan birokrasi. Jelas, fakta menunjukkan birokrasi Indonesia masih sangat buruk. Buktinya, World Economic Forum (2017) merilis bahwa korupsi menjadi polemik pertama daya saing perekonomian Indonesia. Terutama berpengaruh signifikan pada iklim investasi.
Kedua, perumusan formulasi prioritas pembangunan. Selama ini, pemerintah banyak mengundang investor asing. Tapi ironisnya cetak biru kebijakan prioritas pembangunan belum ada hingga kini. Tidak heran, jika banyak pelaksanaan teknis kegiatan ekonomi yang asal-asalan; baik lingkungan industri, perdagangan, ataupun jasa.
Ketiga, kerjasama Swasta-pemerintah. Program public-private partnership (PPP) harus digalakkan. Selama ini pemerintah belum punya bargaining position atas swasta. Hasilnya beberapa kebijakan mleset, bahkan berdampak buruk pada perekonomian. Masifikasi PPP diyakini mampu membuat Indonesia layaknya China. Mampu mengimitasi pelbagai produk perusahaan asing yang berinvestasi di negerinya.
Maka tak salah juga, jika Presiden Joko Widodo berupaya berteman baik dengan China. Karena memang banyak pelajaran berharga dari sana. Tapi jika beberapa hal diatas bisa dijadikan momentum kebangkitan ekonomi Indonesia. Maka tak butuh waktu lama, kita akan mampu berdiri mandiri tanpa sahabat sejati, China.

****) Azhar Syahida, Mahasiswa Ilmu Ekonomi-Ekonomi Islam Angkatan 2014

3 thoughts on “Pelajaran Berharga Dari Cina”

  1. This article opened my eyes, I can feel your mood, your thoughts, it seems very wonderful. I hope to see more articles like this. thanks for sharing.

  2. I may need your help. I tried many ways but couldn’t solve it, but after reading your article, I think you have a way to help me. I’m looking forward for your reply. Thanks.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *