Viral Transaksi NFT, Apakah Berdampak Terhadap Perekonomian Indonesia?

NFT (Non-Fungible Token) menurut Noor (2021) adalah aset atau sekumpulan
data yang tersimpan pada buku besar digital, lebih tepatnya adalah bagian dari
Blockchain Ethereum yang kemudian arsip digital tersebut memiliki nilai yang dapat  diperjualbelikan. NFT dalam waktu belakangan terakhir menjadi isu yang ramai dibicarakan oleh masyarakat Indonesia. Hal tersebut bermula ketika ada seorang pemuda yang bernama Ghozali berhasil menjadi miliarder akibat menjual koleksi selfie-nya setiap hari dari tahun 2017 hingga 2021 ke dalam bentuk aset digital NFT.  Padahal, keberadaan NFT sendiri sudah ada sejak tahun 2014 yang pertama kali diperkenalkan oleh sebuah platform yang memiliki nama Counterparty.

Dilansir dari Liputan 6, transaksi NFT Ghozali mengalami perkembangan dan
peningkatan dengan cepat. Awalnya foto tersebut hanya dijual 0,001 ETH atau sekitar Rp 48.000. Tetapi, kini harga foto tersebut terjual tinggi mencapai 11 ETH atau sekitar Rp 47 miliar. Oleh karena itu, adanya transaksi yang besar tersebut menjadikan NFT Ghozali ramai dibicarakan di kalangan masyarakat Indonesia. Akibat transaksi NFT Ghozali mendapatkan banyak respon positif dari masyarakat dan komunitas NFT yang ada di global, sehingga banyak orang mulai melirik potensi NFT yang ada di Indonesia.

Perkembangan NFT di masa sekarang salah satu faktor pendorongnya adalah
keunikan yang dimiliki oleh NFT itu sendiri. NFT memiliki keunikan di mana terdapat nilainya tersendiri bagi orang yang membeli dan menjual, sehingga tidak dapat sembarangan untuk menduplikasikan NFT (Wuisan, 2021). Hal tersebut yang membedakan NFT dengan mata uang kripto, di mana mata uang kripto setiap koinnya bernilai sama. Selain itu, NFT dapat dijadikan sebagai investasi karena memiliki highdemand di berbagai kalangan masyarakat. Kelebihan NFT lainnya adalah memberikan ruang bagi para seniman atau creator. Adanya NFT ini dapat dimanfaatkan oleh para seniman atau creator agar dapat menawarkan karyanya dengan harga yang layak, mengingat kurangnya apresiasi atas karya yang dihasilkan para seniman atau creator di zaman sekarang.

NFT ternyata tidak hanya memiliki kelebihan, ada beberapa kekurangan yang
perlu dipertimbangkan sebelum memasuki dunia NFT. Berdasarkan penjelasan dari Murdaningsih (2021), NFT merupakan aset yang dianggap likuid karena orang yang membeli NFT belum tentu dapat menjualnya kembali. Selain itu, NFT masih memiliki risiko investasi yang tinggi karena pasarnya masih belum stabil, sehingga sangat rentan terhadap overspeculation. Hal tersebut dikarenakan harga yang ditetapkan tidak secara kuantitatif, melainkan secara kualitatif. Meskipun NFT sangat sulit untuk diduplikasikan, tetapi mekanisme penyimpanan NFT masih belum terdesentralisasi, sehingga rentan terjadi peretasan. Kekurangan lainnya adalah sistem NFT yang masih sulit dipahami oleh orang awam. Oleh karena itu, diperlukan pembelajaran dan pengetahuan sebelum terjerumus ke dalamnya.Dewasa ini, tren NFT menjadi perhatian masyarakat Indonesia khususnya dari fenomena Ghozali everyday. NFT sendiri memiliki beberapa dampak terhadap berbagai sektor di Indonesia yang salah satunya ada sektor perekonomian. Hal ini bisa dilihat dari hasil yang didapatkan oleh Ghozali yang mendapatkan keuntungan riil sekitar 1 – 1,5 miliar rupiah. Dari hal tersebut, didapatkan kesimpulan bahwa NFT bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat sebagai creator. Selain mendapatkan uang sebagai creator, masyarakat juga dapat membeli dan menjual lagi aset NFT yang
mereka miliki.

Disisi lain, NFT juga dapat berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia dari
segi perpajakan. Pendapatan dari segi perpajakan juga bisa menjadi potensi ekonomi bagi negara dari tren NFT. Dari hal tersebut, tren NFT dan produk sejenis NFT diperkirakan akan semakin menjamur di Indonesia. Akan tetapi, masih diperlukannya intervensi dari stakeholders terutama dari pemerintah sendiri untuk melakukan beberapa penyesuaian terkait regulasi yang belum ada mengenai NFT, perkembangannya, dan beragam aset digital yang ada nantinya seperti disiapkan adanya instrumen penarikan pajak dari NFT dan produk sejenis. Selain itu, agar tren ini bisa bertahan dan berkembang perlu diadakan suatu edukasi mengingat literasi keuangan masyarakat Indonesia belum cukup tinggi khususnya terkait aset digital yang ada.

NFT saat ini sudah menjadi sebuah buzzword dimana melabeli produk apapun
dengan istilah itu akan membuatnya jauh lebih diapresiasi. Namun, Sebagian kalangan meragukan prospek NFT di masa yang akan datang, apakah terus dapat mengalami pertumbuhan, ataukah berakhir seperti dotcom bubble di awal tahun 2000-an. Agar dapat mendapatkan gambaran lebih lanjut, berikut perbandingan dengan fenomena bubble yang sudah terjadi dengan fenomena NFT yang hype saat ini.

a. Tulip Bubble, abad ke 17 di Belanda
Pada akhir abad 16, Tulip pertama kali dibawa ke Eropa Barat. Banyak
kalangan memandang bunga ini, khususnya the broken tulips, sebagai sesuatu yang eksotis dan dapat dijadikan sebagai simbol status kekayaan pada masa itu. Permintaan yang sangat tinggi membuat harga tulip ini juga semakin tinggi, setara dengan harga mansion di Grand Canal Amsterdam. Pada tahun 1636, broken tulips masuk dalam Amsterdam Stock Exchange. Namun, fenomena ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1637, harga mulai runtuh. Mereka yang membeli bunga tulip untuk menjualnya kembali agar dapat keuntungan, pada akhirnya ketika harga turun mereka akan menjualnya kembali pada harga berapapun. Produk yang termasuk mahal dan sedang hype tanpa menyelesaikan sebuah masalah dan memiliki value yang tinggi, dapat diperkirakan bahwa itu adalah sebuah bubble (Lazebnikov, 2021). Ini terdengar sama dengan NFT, di mana produk ini juga merupakan sebuah status simbol, eksklusif, relatif mahal, dan sedang hype saat ini. Hanya saja, NFT terdapat teknologi yang dapat menyelesaikan permasalahan terkait kepemilikan karya intelektual dan produk yang tidak memiliki manifestasi fisik.

b. Dotcom Bubble, akhir abad 90 di Amerika Serikat
Pada akhir tahun 1990-an, banyak startup berdiri di Amerika Serikat. Mereka
menjanjikan nilai brand yang kuat sehingga dapat meningkatkan putaran investasi berikutnya. Banyak investor yang tertarik walaupun startup-startup tersebut tidak menghasilkan keuntungan yang jelas dan tidak menciptakan produk riil. Nilai saham mereka tumbuh secara eksponensial melalui IPO. Namun pada awal tahun 2000-an, nilai saham turun drastis. Investasi dialihkan ke perusahaan-perusahaan lain yang secara fundamental sudah kuat. Startup-startup yang tidak menghasilkan keuntungan pun mulai tutup. Sekilas fenomena ini juga mirip dengan NFT hype. Banyak orang berinvestasi pada NFT hanya karena banyak orang melakukan hal yang sama dan pernyataan bahwa
NFT akan memiliki prospek yang cerah untuk beberapa tahun ke depan. Namun,
berbeda dengan dotcom bubble di mana investor menginvestasikan modalnya ke
startup-startup tersebut tanpa ada produk yang riil, NFT menawarkan produk yang jelas sejak awal (Henslee, 2021). Meskipun beberapa kalangan menilai NFT hype ini sudah overvalued, namun ada hal di dalamnya yang dapat dimanfaatkan. Menurut Tristan Yver, head of strategy di FTX US yang berlokasi di Miami, NFT dapat sangat bermanfaat untuk memperkenalkan cryptocurrency dan teknologi blockchain dengan lebih mudah. Melalui NFT, banyak sekali orang yang mulai berhubungan dengan cryptocurrency dan blockchain.

Adam Judd, head of crypto di LionTree, menjelaskan bahwa proyek NFT
memang terkesan bubbly. Namun, dia tetap melihat ada ruang untuk tumbuh pada kategori dan penggunaan baru seputar identitas, insentif komunitas, start-up funding, hiburan dan fashion. Lebih lanjut, salah satu kesempatan terbesar sekarang adalah seputar user-friendly interfaces dan pengalaman untuk setiap orang sehingga NFT dapat menjadi lebih approachable, valuable, dan economical. Ketika setiap orang sudah merasa nyaman untuk bertransaksi NFT seperti mereka membeli sebuah mie instan, tentu saja proyek ini akan memiliki benefit yang besar (Rooney, 2021). Oleh karena itu, adanya perkembangan NFT yang menjadi hype sekarang dapat memberikan dampak terhadap sektor perekonomian melalui berbagai keunikannya.

Keunikan yang dimiliki NFT, yaitu memiliki nilainya tersendiri, dapat dijadikan
investasi, dan lain sebagainya. Namun, NFT juga memiliki kekurangan, yaitu aset yang likuid, memiliki risiko investasi yang tinggi, dan sistem yang masih sulit dipahami. Adapun dampak NFT terhadap perekonomian Indonesia adalah menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat, baik itu sebagai creator dan pendapatan dari segi perpajakan. Sustainabillity NFT dapat terlihat dari penggunaan teknologi yang digunakan dan menawarkan produk yang jelas sejak awal. Di samping perkembangan NFT yang meningkat, diperlukannya regulasi dari pemerintah mengenai NFT dan masyarakat hendaknya mempelajari dan mendalami NFT terlebih dahulu sebelum
melakukan transaksi