DUALISME KEPENTINGAN IMPOR BERAS DAN PENGARUHNYA TERHADAP VOLATILE FOOD INFLATION

Baru-baru ini pemerintah melontarkan sebuah pernyataan yang selalu
mengundang terjadinya kontroversi di kalangan akademisi, praktisi, masyarakat,
dan para petani, yaitu rencana pemerintah yang akan kembali mengimpor beras
dalam jumlah yang cukup besar, 500.000 ton beras yang berlangsung hingga Mei
2023. Bahkan, jumlah ini akan terus bertambah menjadi 2.000.000 ton hingga akhir
tahun 2023 (Katadata, 2023). Dalam sumber yang sama, Direktur Utama Perum
Bulog, Budi Waseso, mengatakan bahwa impor yang dilakukan hingga bulan Mei
2023 tersebut akan digunakan untuk memenuhi stok beras penyaluran bantuan
sosial. Dari total stok bansos yang ditetapkan, kebutuhan impor dilakukan lantaran
jumlah penyerapan produksi dalam negeri hanya mencapai 110.000 ton dari
213.530 ton kebutuhan penyaluran beras bansos. Kemudian, impor beras lanjutan
hingga akhir 2023 dilakukan untuk memenuhi jumlah permintaan dalam negeri
yang terus meningkat setiap tahunnya.
Perbedaan Pandangan Dua Kementrian atau Lembaga
Apabila melihat data yang disampaikan, saat ini, Perum Bulog memang
terlihat kekurangan stok beras, dan cenderung tidak mengambil stok Cadangan
Beras Pemerintah untuk mengisi kekurangan kebutuhan beras bansos. Terlebih lagi,
bulan April dan bulan Mei 2023 adalah tepat bulan HBKN (Hari Besar Keagamaan
Nasional) yang seringkali konsumsi bahan pangan jenis apapun akan meningkat
pada bulan HBKN, tidak terkecuali beras. Peningkatan jumlah permintaan yang
tidak diimbangi oleh penawaran menyebabkan naiknya harga suatu komoditas
tersebut. Oleh karena itu, apabila hal ini tidak diantisipasi dengan matang, maka
bukan tidak mungkin, bahan makanan akan menyumbang inflasi yang tinggi
sebagai salah satu disagregasi komponen Indeks Harga Konsumen.
Kontras dengan pernyataan yang menyebutkan bahwa Indonesia akan
mengalami defisit produksi beras di tahun 2023, BPS ternyata menganggap itu
keliru. Melalui Kerangka Sampling Area (KSA) BPS yang dirilis pada tanggal 1
Maret 2023, produksi beras nasional cenderung tinggi yang berturut-turut mulai
pada bulan Januari, Februari, dan Maret 2023 berada di angka 1,33 juta ton, 3,68
Juta ton, dan 5,27 juta ton (Mediaindonesia, 2023). Apabila yang disampaikan oleh

BPS benar adanya, maka Indonesia tidak perlu mengimpor beras hingga berjuta-
juta ton. Dengan jumlah produksi tersebut, seharusnya Indonesia telah mencapai

swasembada pangan yang berarti dari produksi dalam negeri sendiri, Indonesia
telah mampu memenuhi konsumsi dalam negeri, bahkan produksi tersebut dapat
surplus, dan bisa dialokasikan untuk keperluan ekspor dalam rangka menambah
pendapatan negara.

Fakta yang disampaikan BPS ternyata secara empiris tidak sepenuhnya
sesuai. Secara teoritis, jumlah penawaran atau stok yang melimpah seharusnya
membuat stabil harga atau malah cenderung menurunkan harga suatu komoditas
dikarenakan jumlah penawaran yang sebanding dengan permintaan atau bahkan
jumlah penawaran yang lebih tinggi ketimbang permintaan. Pada kenyataannya,
harga beras medium pada Februari 2023 menyentuh angka Rp, 11.760 per kilogram
(kg) dan Rp, 13.521 per kilogram (kg) untuk beras berjenis premium. Angka ini
lebih tinggi apabila dibandingkan dengan bulan Januari Rp, 11.344 dan Rp, 13.185
(Katadata, 2023). Harga tersebut disinyalir justru merupakan harga tertinggi dalam
5 tahun terakhir. Walau seringkali fakta di lapangan berbeda dengan yang dikatakan
secara teoritis, pada kasus beras, substansi mengatakan bahwa terdapat kesesuaian
antara lapangan dan teori yang berarti bahwa apabila jumlah penawaran beras lebih
tinggi dari permintaannya, seharusnya harga yang berlaku juga haruslah berkurang.
Hal tersebut valid apabila data yang diberikan adalah benar adanya.

Gambar 1. Perkembangan Harga Beras di Indonesia Tahun 2023

Sumber: Katadata, 2023 (Diolah)

Penyebab Terjadinya Impor Beras
Baik secara empiris atau teoritis, terdapat beberapa hal yang menyebabkan
pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk mengimpor beras, yang tentu saja
akan berpengaruh pada harga beras secara nasional dan kesejahteraan para petani
beras lokal. Pertama, kebutuhan masyarakat Indonesia akan beras yang tinggi.
Dengan jumlah penduduk yang berkisar 270 juta jiwa, pola konsumsi beras sebagai
bahan makanan pokok akan mengikuti jumlah tersebut (Hendri, A. 2023). Jadi,
semakin tinggi jumlah penduduk Indonesia, maka konsumsi beras juga akan
semakin tinggi. Hal ini nampaknya masih relevan dengan teori Malthus yang
mengatakan pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan lahan untuk pangan
berbanding terbalik. Pertumbuhan penduduk bertambah secara eksponensial,
sedangkan pertumbuhan lahan secara geometris.

Kedua, produksi beras di Indonesia yang masih belum memenuhi
permintaan dalam negeri dan mengindikasikan ketergantungan yang tinggi
terhadap beras (Wibawa, dkk. 2023). Salah satu penyebab produksi beras yang
seringkali berfluktuatif adalah dikarenakan luas lahan persawahan yang terus
menerus turun akibat alih fungsi lahan untuk aktivitas perekonomian lain (Hendri,
A. 2023). Hal tersebut dapat diartikan bahwa pasokan atau produksi beras nasional
secara primer dipengaruhi oleh jumlah luas lahan yang ada, disamping terdapat
faktor lain seperti curah hujan dan faktor lainnya.
Dampak Impor Beras terhadap Harga dan Inflasi Bahan Pangan
Setiap kebijakan perekonomian yang dibuat oleh pemerintah pastinya
memiliki dampak yang luas secara nasional, tidak terkecuali impor beras. Secara
teoritis, impor beras yang terlalu tinggi akan cenderung mengurangi harga beras di
pasar nasional yang akan berdampak pada kesejahteraan para petani yang menjual
harga lebih rendah dari biasanya. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh (Dwiarsih, 2012) yang mengatakan bahwa impor beras secara negatif
mempengaruhi inflasi bahan pangan secara jangka pendek. Artinya, apabila impor
beras dilakukan, maka inflasi akan turut berkurang. Kemudian, penelitian yang
dilakukan oleh (Ismaya, B & Anugrah D.F. 2018) tentang determinan khusus untuk
inflasi beras mengatakan bahwa Inflasi harga beras ditopang oleh produksi beras,
lahan pertanian beras, dan volume impor beras. Volume impor beras mendapatkan
koefisien negatif yang berarti bahwa pertambahan volume impor beras akan
mengurangi nilai inflasi. Oleh karena itu, dibutuhkan jumlah dan angka yang pas
untuk menentukan volume impor beras dalam kaitannya berpengaruh terhadap baik
inflasi bahan pangan secara general atau inflasi beras secara khusus.
Rekomendasi Kebijakan
John Maynard Keynes adalah orang yang mendukung gerakan intervensi
pemerintah ke dalam pembuatan kebijakan perekonomian. Pada kasus impor beras,
peran pemerintah sangat penting dalam menentukan sejauh mana seharusnya impor
beras dilakukan. Secara umum, impor beras dilakukan karena produksi dan pasokan
beras dalam negeri tidak mencukupi permintannya. Ketidakmampuan produksi
memenuhi permintaan disebabkan oleh tingginya permintaan yang sejalan dengan
tingginya jumlah penduduk (karena bahan makanan pokok Indonesia adalah beras)
dan alih fungsi lahan yang secara masif dilakukan menyebabkan luas lahan
pertanian berkurang cukup drastis. Oleh karena itu, rekomendasi kebijakan yang
dapat kami sampaikan adalah pertama, impor beras adalah salah satu hal yang
tidak dapat dihindari. Dalam perdagangan internasional, proses impor dan ekspor
dilakukan oleh negara untuk memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi di
dalam negeri. Diperlukan penghitungan volume beras yang akan diimpor serta
ketepatan waktu impor supaya tidak menimbulkan dampak lanjutan akibat impor
terlalu besar. Ketidaktepatan penghitungan volume beras menyebabkan
kelebihannya penawaran beras yang membuat harga akan jatuh, sedangkan
ketidaktepatan penentuan waktu impor juga tidak akan memberikan hasil terhadap

tujuan akhirnya, yaitu kestabilan harga beras akibat terlambatnya respons pasar
terhadap kebijakan impor tersebut.
Kedua, pemerintah harus mengurangi alih fungsi lahan yang terus menerus
terjadi, baik untuk pendirian pemukiman baru atau untuk aktivitas perekonomian
lain. Selain itu, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian juga harus dilakukan,
mulai dari penentuan bibit unggul beras hingga ke pola tanam serta kemajuan
teknologi seharusnya juga dapat mendorong adanya peningkatan produksi beras
seperti melakukan pertanian dengan bantuan sistem komputasi dan lain sebagainya.

REFERENSI
Ahdiat, Adi. (2023, March 1). Harga beras makin naik, termahal dalam 5 tahun.
Retrieved April 14, 2023, from

https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/01/awal-2023-harga-
beras-makin-naik-termahal-dalam-5-tahun

Hendri, A. (2023). Analisis Impor Beras di Indonesia (Rice Import Development
Analysis In Indoensia). Perwira Journal of Economics & Business, 3(01), 90-
95.
Ismaya, B. I., & Anugrah, D. F. (2018). Determinant of Food Inflation. Buletin
Ekonomi Moneter dan Perbankan, 21(1), 81-94.
Mediaindonesia. (2023, April 14). Bapanas Keliru memperkirakan Produksi Beras
2023 Akan defisit, Ini Faktanya. Retrieved April 14, 2023, from

https://mediaindonesia.com/ekonomi/562811/bapanas-keliru-
memperkirakan-produksi-beras-2023-akan-defisit-ini-faktanya

Wibawa, N. C., Ardini, H., Hermawati, G., Firdausa, R. N., Anggoro, K. B., &
Wikansari, R. (2023). ANALISIS IMPOR BERAS DI INDONESIA DAN
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHI IMPOR BERAS. JURNAL
ECONOMINA, 2(2), 574-585.
Widiarsih, D. (2012). Pengaruh sektor komoditi beras terhadap inflasi
bahanmakanan. Jurnal Sosial Ekonomi Pembangunan, 2(6), 244-256.
Zahira, O. (2023, April 12). Bulog Kembali impor beras 500.000 ton, Digunakan
Untuk Bansos pangan. Retrieved April 14, 2023, from

https://katadata.co.id/tiakomalasari/berita/64367e6a4762f/bulog-kembali-
impor-beras-500000-ton-digunakan-untuk-bansos-pangan