Mural, Kebebasan Berekspresi atau Kriminalisasi?

Indonesia merupakan negara yang menganut sistem Demokrasi. Demokrasi berarti bahwa sistem pemerintahan berasal dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat. Sehingga, kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal tersebut tercantum pada Pancasila sila ke-4 serta Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 Ayat 2 yang berbunyi “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Konsekuensi dari adanya sistem demokrasi adalah seluruh warga negara harus dilibatkan dalam pemerintahan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga pertanggungjawaban.

Kebebasan berpendapat menjadi salah satu ciri dari negara demokrasi. Indonesia menjamin kebebasan berpendapat bagi seluruh warga negara melalui UUD 1945 pasal 28E ayat 3 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Ada bermacam-macam cara yang dapat dilakukan untuk menyuarakan pendapat yang dimiliki, salah satunya adalah mural. Mural biasanya menjadi sarana dalam mengekspresikan kritikan atas suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah maupun fenomena yang terjadi. Mural berasal dari bahasa latin yaitu Murus yang berarti dinding. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mural memiliki arti lukisan pada dinding.

Mural sudah lumrah digunakan sebagai sarana menyalurkan ekspresi maupun aspirasi terhadap pemerintah, termasuk memberikan kritikan apabila terdapat tindakan maupun keputusan yang menyimpang dari apa yang rakyat cita-citakan. Namun, tak jarang hal tersebut membuat mural dianggap dapat mencemarkan nama baik pejabat pemerintah. Sebut saja mural wajah Presiden Joko Widodo dengan mata yang ditutupi tulisan “404: Not Found” di Tangerang, Banten. 404 Not Found merupakan kode respons yang mengindikasikan halaman yang dituju tidak dapat ditemukan oleh server yang diakibatkan oleh kesalahan saat memasukan alamat URL atau laman yang dituju sudah tidak tersedia. Mural tersebut merepresentasikan orang-orang yang tidak dapat bersuara terhadap kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat. Namun, kritikan tersebut dipermasalahkan oleh aparatur negara karena dianggap dapat mencemarkan nama baik presiden sebagai lambang negara. Padahal menurut pasal 36A UUD 1945, lambang negara Indonesia adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga, mural 404 Not Found tidak dapat dipidanakan dengan alasan presiden merupakan lambang negara.

Mural 404 Not Found bukan merupakan satu-satunya mural yang menjadi kontroversi. Dua mural lainnya merupakan tulisan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Pasuruan, Jawa Timur, dan “Tuhan Aku Lapar” di Tangerang. Ketiga mural yang kontroversial merupakan representasi dari kekecewaan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah di masa pandemi Covid-19. Polisi sebagai aparat negara, tidak tinggal diam atas kemunculan mural-mural tersebut. Polisi melakukan pengejaran terhadap para seniman atau saksi mata. Selain itu, polisi juga menghapus mural-mural yang mengandung kritik tersebut.

Kontroversi yang timbul terhadap mural berisi kritikan kepada pejabat pemerintah menimbulkan pertanyaan mengenai apakah demokrasi hanya sekedar sistem belaka tanpa adanya implementasi yang nyata. Menurut Economist Intelligence Unit (EIU), pada tahun 2021, Indonesia berada pada posisi 64 dalam Indeks Demokrasi, peringkat tersebut merupakan yang terendah dalam 14 tahun terakhir. Selain itu, pada tahun 2020 dilakukan sebuah survei oleh Indikator yang kemudian menemukan bahwa 36% responden merasa Indonesia menjadi kurang demokratis, 22% responden merasa putus asa untuk mengungkapkan pendapat mereka, dan 58% responden mengatakan polisi lebih keras terhadap orang-orang yang berbeda pandangan dengan pemerintah.

Ketika mural seharusnya menjadi media untuk menyalurkan kebebasan berekspresi, malah menjadi kontroversi dan di kriminalisasi. Berkaca dari kontrovesi mural ini, tak heran apabila kedepannya masyarakat menjadi bungkam karena takut akan ancaman pidana dari aparat negara. Kedepannya, mural akan terus bermunculan. Maka dari itu, harus ada perubahan yang dilakukan supaya tidak terulang kasus yang serupa.

Hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah memberikan batasan terhadap kekuasaan aparatur negara. Pada kasus kontroversi mural, aparat negara bertindak represif yang mana menjadi indikasi bahwa demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Sehingga, membatasi kekuasaan aparat negara menjadi elemen kunci dalam negara yang demokratis. Dalam hal ini, pemerintah harus berkomitmen untuk menjamin dan mendukung kebebasan berekspresi dan berpendapat dengan cara melakukan langkah konkrit untuk membenahi tindakan represif aparat negara.

Selanjutnya, dalam pembuatan mural, perlu diperhatikan lokasi dimana mural itu dibuat. Sudah menjadi hal yang wajar apabila mural dihapus maupun dimodifikasi  untuk tujuan menjaga estetika dan ketertiban umum. Sebagai seniman mural, sudah menjadi tanggungjawabnya untuk tidak menggunakan dinding dari fasilitas umum maupun dinding milik warga tanpa adanya persetujuan dari pihak yang terkait. Supaya pembuatan mural tersebut tidak menimbulkan masalah. Dengan adanya teknologi yang semakin berkembang pesat, diharapkan pembuatan mural tidak hanya terbatas pada dinding saja. Pemerintah bisa memfasilitasi seniman mural dengan media pembuatan mural berbasis digital yang bisa dengan mudah diakses masyarakat pada area terbuka public. Sehingga, pesan yang ada pada mural dapat tersampaikan pada masyarakat tanpa mengurangi estetika dan ketertiban umum.

Terakhir, mural akan terus mengalir selama masih ada hak yang harus ditegakkan maupun suara yang harus didengar. Kritikan-kritikan tidak akan pernah berhenti diarahkan kepada pemerintah karena setiap kebijakan maupun tindakan yang dilakukan tentunya tidak bisa memuaskan semua pihak. Namun, diharapkan pemerintah tidak mengabaikan kritikan yang diberikan ataupun bersikap represif terhadap masyarakat yang berani menyuarakan pendapat. Perlu diingat sekali lagi bahwa Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi. Sehingga sudah seharusnya prinsip-prinsip demokrasi ditegakkan.

Referensi :

  1. https://rmol.id/amp/2021/08/24/501602/kontroversi-mural-404-not-found-gejala-sakitnya-demokrasi-indonesia
  2. https://voi.id/en/bernas/77317/i-404-not-found-anda-menuju-kebuntuan-demokrasi
  3. https://nasional.tempo.co/read/1496004/viral-mural-404-not-found-ini-bunyi-pasal-uu-menjamin-kebebasan-berekspresi
  4. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210818130331-12-681879/lbh-mural-jokowi-404-tak-bisa-dijerat-kasus-lambang-negara
  5. https://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/mural-controversies-expose-the-poor-health-of-indonesian-democracy/